Kamis, 29 September 2011

DINGIN KARENA DIABAIKAN

Semilir Angin Pemilukada sudah semakin menggeliat. Bakal Cabup dan Cawabup sudah hampir mengkerucut kendati masih saling menjajaki (malu-malu kucing. red). Siapa menggandeng siapa nampaknya masih abu-abu. Bagaimana tidak, satu sama lain ingin mendapatkan pasangan yang ideal yang akan menduduki tahta kekuasaan dan menjadi nomor satu di Kabupaten Bekasi. Satu keinginan dan satu harapan besar adalah "Aku harus menang". Ya mereka harus menang. Incomeben juga tidak ingin kursi dan tahtanya di renggut orang lain. Sehingga kursi panas terkadang akan berubah istilah menjadi kursi empuk. Itulah geliat Pemilukada pada umumnya. Bakal Cabup dan Cawabup terlihat sangat sibuk dan semangat serta jor-joran, mencari masa dan menebar pesona untuk meraih simpati masyarakat.

Ironi memang. Ditengah kesibukan golongan elit dan politisi partai sedang mencari popularitas dan simpati masyarakat, nampaknya masyarakat menyambutnya dingin. Dingin nyaris tak perduli dengan apa yang sedang mereka lakukan. Yang terlihat adalah kesibukan masyarakat sangat berbeda dengan kesibukan elit. Masyarakat sibuk memikirkan masa depan masing-masing tentang bagaimana anaknya bersekolah, bagaimana besok dapat makan atau tidak, bagaimana mereka mendapatkan pekerjaan yang layak, bagaimana mereka mendapatkan jaminan kesehatan dan pendidikan yang layak, bagaimana mereka mendapatkan pekerjaan tanpa menyogok, dan yang selalu menggayuti pemikiran mereka adalah kepada siapa mereka mengadukan itu semua. Pertanyaan besar itulah yang tak pernah terjawabkan sampai hari ini. Ya hari ini dimana mereka diminta harus memilih kembali pemimpinnya. Sampai hari ini, dimana mereka dirayu untuk memilih si pulan. Hari ini dimana mereka kembali diiming-imingi kehidupan yang jauh lebih layak. Ya, mereka sampai hari ini ditipu dan dibohongi. 



 

Selasa, 20 September 2011

Senin, 19 September 2011

Sikap Husnudzon,
Kepada Sang Pemimpin

Oleh : Aji Mulyadin



Kecenderungan sifat lupa pada seorang Pemimpin memang sangat mungkin terjadi. Ia lupa bahwa seorang Pemimpin adalah pelindung, pengayom, dan pelayan masyarakatnya. Ia lupa bahwa lahirnya seorang Pemimpin karena pilihan masyarakat. Ia lupa bahwa jabatan yang disandangnya adalah kepercayaan masyarakat. Ia lupa pada saat mengobral omongan waktu kampanye berjanji berpihak pada masyarakatnya. Ia lupa bahwa jabatannya tidak akan abadi. Dan Ia lupa bahwa sesungguhnya nuraninya telah ditindas oleh kepentingan yang berlebihan, nafsu yang tak terkendalian, dan dunia yang tak pernah memberinya kepuasan.
Mungkin Ia lupa sifat tamaknya telah mampu mengalahkan nuraninya sendiri. Yang harampun di naas menjadi halal. Penyuapan pun dikonotasikan dengan infaq, dan jabatan publik pun dibuat dagangan seperti di pasar. Masyarakat dipaksa untuk mengatakan yang sesungguhnya haram menjadi halal, yang tidak biasa, dipaksa untuk menjadi biasa. Sesuatu yang salah dipaksakan untuk menjadi benar. Dan yang paling menyakitkan adalah orang yang benar malah menjadi salah. Suara terbanyak kendati salah, menjadi tuhan, dan yang minoritas sekalipun benar, salah adanya dan termarginalkan (terpinggirkan)
Ironi memang, di alam demokrasi katanya, tapi malah terkesan ada sebuah penindasan nurani, banyak rekayasa, intimidasi kepada yang lemah, yang berbeda pendapat dicap penentang, dimusuhi, dan tak pernah diberikan akses untuk apapun. Padahal katanya mereka ingin berbuat sesuatu yang terbaik untuk masyarakatnya. Tapi yang terjadi adalah mereka banyak berbuat dzolim kepada masyarakatnya, masyarakat yang telah menjadikan Ia ada, masyarakat yang telah membesarkannya, dan masyarakat yang telah memberi makan dan kehidupan bagi keluarganya.

Terkadang ada rasa iba, prihatin, dan menyayangkan atas ulah Pemimpin itu. Dia merasa bahwa jabatan itu terkesan sesuatu yang mutlak, tirani, dan otoriter. Dia teramat tamak dengan jabatannya. Dia teramat aji mumpung dengan keadaannya sekarang. Seolah-olah kesempatan emas hanya ada hari ini, tanpa mengindahkan hari esok akan lebih baik jika hari ini menebar kebaikan. Dia terlalu sibuk ingin merasakan dan menikmati yang belum pernah dinikmati dan dirasakan sebelum menjadi Pemimpin. Akhirnya yang muncul prilaku glamor, berlebihan (israf), dan tidak ada empati atas penderitaan masyarakat.   
Yang sangat memprihatinkan adalah ketika Pemimpin lupa bahwa dunia pendidikan tidak boleh menjadi komoditi politik, dan dijadikan media untuk menumbuhkembangkan kepentingan politik, dijadikan ajang untuk melebarkan sayap dan memperkokoh kekuasaan. Ketika pendidikan sudah dijamah oleh tangan-tangan yang hanya memiliki kepentingan kekuasaan, maka akan bias tujuan pendidikan itu sendiri.
Yang sangat parah adalah dari cara menggarap pendidikan ternyata bukan pada tataran proses dan kualitas, akan tetapi lebih kepada penyusupan person tanpa melihat kompetensi dan latar belakang pendidikan yang dimilikinya. Lihat saja dari mekanisme rekrutmen tenaga pendidik, cenderung tidak didasari oleh tujuan yang mengarah kepada kualitas, tetapi asal jadi saja. Sementara keilmuan dan kompetensinya tidak terlalu dipersoalkan. Kalau sudah begini bagaimana nasib pendidikan kedepan. Miris memang kalau nuansanya adalah kepentingan politik.
Lalu bagaimana sikap kita sekarang, apa yang harus kita lakukan. Nyaris tidak ada yang harus kita lakukan. Seperti apa sikap kita yang jelas-jelas menyadari ada sesuatu yang tidak beres. Mungkin solusi yang paling murah dan teramat rendah dan merupakan kategori paling lemah iman kita, adalah mengusap dada dan bersikap husnudzon (berprasangka baik saja), mungkin Pemimpin dalam keadaan lupa. Dan pasti sifat lupa ini akan kembali hilang ketika label Pemimpinnya dicabut Sang Khaliq, dan kembali seperti masyarakat biasa. Mudah-mudahan.

Meraih Kemerdekaan dalam Puasa

Meraih Kemerdekaan
Dalam Puasa

Oleh : Aji Mulyadin


Seperti pada tahun sebelumnya, di bulan ini ada dua momen yang menjadi catatan penting untuk dijadikan bahan kajian dan bahan renungan bagi kita semua. Di lihat dari kaca mata sejarah kebangsaan, Indonesia genap berumur 65 tahun, tepatnya tanggal 17 Agustus 2011, sedangkan berbarengan dengan itu bahwa di bulan Agustus ini bertepatan dengan bulan Ramadhan, dimana umat muslim melaksanakan ibadah puasa selama satu bulan penuh.
Esensi kemerdekaan itu adalah bebas (tidak terbelenggu). Bebas untuk menjadi sebuah bangsa, bebas menjadi individu yang mandiri, bebas dalam berkarya, bebas dalam berfikir, bebas dalam berbicara, bebas dalam menentukan pilihan dan bebas untuk hidup tanpa tekanan dan intimidasi. Sementara esensi puasa adalah menahan diri untuk membebaskan diri dari belenggu hawa nafsu syaitoniah untuk kemudian kembali kepada fitrah (kesucian) seperti bayi yang baru lahir, nyaris tanpa dosa. Wallahualam bisawaf. Tidak ada yang tidak mungkin di mata Tuhan.
Puasa berarti menahan diri hawa nafsu syaitoniah. Sederhananya secara kontekstual bahwa puasa adalah menahan lapar dan haus dan yang membatalkannya dari mulai fajar  sampai terbenam matahari setiap harinya selama satu bulan penuh. Bayangkan hanya satu bulan dalam dua belas bulan dari waktu yang diberikan Tuhan kepada umat-Nya. Cukup singkat memang. Akan tetapi diharapkan ketika kita berlatih di bulan ramadhan hasilnya dapat mewarnai sebelas bulan kedepan. Sehingga kalau kita kaji, esensi dari keduanya adalah terbebas dari belenggu. Permasalahannya sekarang adalah apakah kita sudah mendapat keutuhan dari arti sebuah kemerdekaan, atau apakah kita sudah meraih makna puasa yang seutuhnya.  Sehingga kita dapat merasakan kemenangan dalam keadaan fitrah. Atau malah sebaliknya kita kalah dan tetap dalam keadaan terbelenggu dan terjajah, dan akan merasakan kehidupan yang dibayang-bayangi oleh kegalauan dan ketakutan selamanya.
Dalam puasa, hati, pikiran, lidah, ucapan dan kata-kata harus merdeka (jujur). Prilaku (tindakan) harus merdeka, tanpa dibuat-buat. Jika tidak, maka nilai dari puasa itu tidak dapat kita raih (sia-sia). Artinya kita masih dalam keadaan terebelenggu, terjajah, dan belum merdeka.
Sekarang saatnya ibadah puasa dijadikan arena untuk mengaktualisasikan diri dan nurani kita. Diri, jiwa dan raga yang terbebas dari kungkungan. Raga dan fisik kita yang bebas bergerak tanpa batas. Nurani yang tanpa tekanan dan intimidasi, hati yang tanpa ketakutan dan rasa was-was. Alhasil ramadhan adalah suatu kondisi yang sangat kondusif bagi siapapun untuk meraih kemerdekaan hati dan nurani, kemerdekaan jiwa dan raga, kemerdekaan untuk berfikir dan bertindak dengan jujur tanpa kebohongan.
Dua momen yang sangat monumental inilah seyogyanya dijadikan bahan renungan oleh bangsa ini. HUT RI Ke-66, mengingatkan kita bahwa kita sudah merdeka selama setengah abad lebih. Sudah sejauhmana kita sudah mengisi kemerdekaan ini. Atau sudah sebesar apa yang kita dapatkan dari suasana kemerdekaan itu. Atau sudah sejauhmana para pemegang kekuasaan negeri ini memberikan tauladan kepada rakyatnya untuk mensyukuri kemerdekaan itu. Atau sudah separah apa para pemegang kewenangan bangsa ini telah berbuat dzolim terhadap bangsa dan rakyatnya. Atau masih adakah hak-hak rakyat yang dirampas seperti pada saat penjajahan dulu, sehingga tempat tinggal dan harta bendanya ditelan bumi (rata dengan lumpur). Atau masih adakah pembelengguan terhadap hak bicara rakyat seperti zaman penjajah dulu. Atau masih adakah demi kekuasaan rakyat diadu domba (de vide et imvera) seperti pada penjajahan kolonial Belanda dulu. Atau  malah mereka berebut kursi mengatasnamakan rakyat untuk kepentingan partai dan kelompoknya. Dan atau mereka pura-pura berjuang mengungkap aib orang (koruptor) untuk melahirkan koruptor-koruptor lain yang lebih ganas dan licin, dan pura-pura saja untuk sebuah kepentingan kelompok dan kedudukannya. Jika fenomena ini yang malah muncul di alam kemerdekaan bangsa ini maka sesungguhnya mereka itulah yang kalah dan tidak akan mendapatkan apa-apa di yaumil akhir nanti. Na’udzubillah…
Tak ada gading yang tak retak, tidak ada manusia yang sempurna, masih ada waktu untuk memperbaiki diri. Jadikanlah momen puasa dan perayaan HUT RI Ke 66 ini untuk kembali menata hidup dan kehidupan yang jauh lebih baik dari sebelumnya. Mari kita raih kemerdekaan itu dalam puasa di bulan ramadhan ini. Mudah-mudahan Tuhan Yang Maha Esa membuka pintu ampunan bagi kita semua. Amiin. (jie.com)